Senyum Lasik

SAYA sudah tidak berlaku lagi. Tidak mampu lagi mengikuti gaya hidup terkini: hidup tanpa kacamata.

Usia tertua yang masih memungkinkan untuk menjalani operasi bebas kacamata adalah 70 tahun. Sebelum mencapai usia tersebut, penderita mata minus dapat melakukan prosedur lasik—yaitu prosedur di mana mata ditembak dengan laser untuk menghilangkan kelainan minus atau plusnya.

Beruntung sekali Anda: usia Anda jauh lebih muda dibandingkan saya yang sudah 74 tahun.

“Lebih dari 70 persen pasien yang datang ke sini meminta untuk dilakukan operasi lasik,” kata dr. Dini Dharmawidiarini. “Lasik kini telah menjadi bagian dari gaya hidup,” lanjutnya.

Setelah mengikuti senam dansa di Disway, saya pergi ke klinik NEC –National Eye Center Surabaya kemarin. Saya tertarik untuk melakukan operasi lasik, tetapi akhirnya membatalkannya –karena pertimbangan usia.

Dokter Dini merupakan salah satu dari lima dokter yang menjadi anggota senam dansa SDI. Ia menjabat sebagai konsultan di NEC, sekaligus praktik sebagai dokter mata di RS Mata Undaan. Dini adalah lulusan Universitas Airlangga yang mendapatkan subspesialisasi bedah refraksi, lensa, dan kornea di Hyderabad, India.

Dini bersama 42 dokter spesialis mata lainnya telah menjadi pemilik NEC sejak empat tahun yang lalu. Tujuan para dokter tersebut adalah memiliki peralatan paling mutakhir guna menunjang keahlian mereka.

Alat untuk klinik mata memang harganya tinggi, sekitar Rp 17 miliar. Namanya Zeiss VisuMax. Alat ini dapat digunakan untuk membuat lenticule dalam prosedur SMILE, serta bisa juga digunakan untuk membuat flap pada operasi LASIK.

Saat Dini pertama kali menjadi spesialis dokter mata, mesin yang digunakan masih generasi pertama. Sekarang, teknologinya sudah mencapai generasi ketiga. Bahkan alat yang dibeli oleh NEC adalah tipe Smile-Pro, yaitu seri terbaru dari generasi ketiga.

Semangat juang yang tinggi itulah yang membuat Dini terus bergerak maju. Hal ini juga terlihat dalam usahanya mengejar keterampilan—sampai-sampai pernikahannya pun tertunda. Dengan mesin baru tersebut, Dini ingin mengejar hal yang dirasa tertinggal: jumlah operasi mata yang bisa dia lakukan.

Dini juga memperlihatkan foto bersama seorang dokter mata di sebuah forum yang berlangsung di Singapura. "Dokter perempuan asal India yang berada di sebelah kiri saya ini mampu melakukan operasi hingga 204 orang dalam sehari," kata Dini.

Yang lebih "gila" lagi adalah teman di sebelah kanan Dini. Ia berasal dari Tiongkok dan dalam setahun melakukan lebih dari 5000 operasi mata.

Dini sendiri?

"Saya baru tujuh kali dalam sehari," kata Dini

Lasik dan SMILE memiliki kesamaan, yaitu sama-sama merupakan prosedur operasi yang digunakan untuk mengatasi gangguan penglihatan seperti miopi (rabun jauh), hipermetropi (rabun dekat), serta astigmatisme (silinder). Perbedaannya hanya terletak pada teknik pelaksanaannya. SMILE merupakan kependekan dari Small Incision Lenticule Extraction.

Baik prosedur SMILE maupun LASIK sama-sama tidak menimbulkan rasa sakit. Hanya digunakan tetes mata sebagai obat bius. Anda akan tetap dalam keadaan sadar—dan memang harus sadar. Pasien yang sedang tidur tidak dapat menjalani prosedur LASIK maupun SMILE.

Penyebab mata minus adalah terbentuknya lapisan tipis bernama lenticule di lapisan ketiga kornea mata. Lapisan inilah yang kemudian dikenai sinar laser. Perubahan bentuk kornea pun terjadi sedikit demi sedikit sehingga cahaya dapat lebih tepat fokus ke retina. Dengan demikian, penggunaan kacamata tidak lagi dibutuhkan.

Ternyata, prosedur lasik maupun SMILE hanya memakan waktu beberapa menit saja, sekitar 10 hingga 15 menit. Bahkan, sebagian besar waktu tersebut digunakan untuk persiapan. Sementara proses penembakan laser itu sendiri hanya berlangsung sekitar 30 detik. Untuk kedua mata, total waktunya sekitar 60 detik. Waktu yang dibutuhkan bisa bervariasi tergantung pada keahlian dan keterampilan dokter yang melakukan tindakan.

“Hampir tidak ada kegagalan sama sekali. Sekarang sudah sangat berkembang,” kata Dini.

Pemeriksaan sebelumnya harus dilakukan dengan baik. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pasien mana saja yang cukup hanya diobati dengan laser. Prosesnya pun cepat, hanya sekitar sepuluh menit saja sudah selesai.

Mana yang juga memerlukan perhatian khusus. Tambahkan waktu lima menit setelah selesai. Kemudian, siapa yang tidak diperbolehkan menjalani operasi lasik maupun SMILE.

Yang bisa selesai hanya dengan satu kali prosedur laser merupakan persentase terbesar, mencapai hingga 70 persen. Sekitar 15 persen membutuhkan perhatian khusus. Hanya sedikit yang tidak memenuhi kriteria untuk kedua prosedur tersebut.

Itu sebabnya, di India dan Tiongkok, seorang dokter spesialis mata dapat melakukan ratusan operasi dalam sehari.

Di sana, dokter mata juga memiliki peluang yang lebih besar untuk menguasai prosedur cangkok kornea bagi orang-orang yang terancam kebutaan, karena tersedianya banyak donor mata. Sementara itu, di Indonesia, mendapatkan donor mata sangat sulit—dipengaruhi oleh keyakinan agama masyarakat.

Di klinik tersebut, saya tertarik pada salah satu sudut ruangan yang dijadikan sebagai museum kacamata. Banyak kacamata dipamerkan di sana.

Saya amati dengan saksama: tidak ada kacamata yang berasal dari zaman purba. Ternyata, makna kata "museum" di sana hanyalah sama dengan "masa lalu".

Ternyata itulah kenangan lalu bagi para lasikis dan SMILES. Mereka kembali dari operasi dengan meninggalkan masa lalu mereka di sana.

Banyak kacamata di museum tersebut diberi nama pemiliknya. Sebagian lainnya memiliki lensa yang bertuliskan kenangan romantis: "30 Tahun bersamanya". (Dahlan Iskan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *